Langgengnya Budaya, Meriahnya Sedekah Bhoemi di Dukuh Karangan - Darksider | Dunia Hiburan Creepy

Darksider | Dunia Hiburan Creepy

This Is About The Darkside In The World

Friday, September 19, 2025

Langgengnya Budaya, Meriahnya Sedekah Bhoemi di Dukuh Karangan

 

Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya

SR,Surabaya - Malam Sabtu, 19 September 2025, suasana penuh semangat dan kebersamaan menyelimuti Gedung Serba Guna RW3 Dukuh Karangan, Babatan, Wiyung, Surabaya. Ratusan warga dari berbagai kalangan memadati lokasi untuk menghadiri acara Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya, sebuah perhelatan seni tradisional yang mengusung nilai-nilai pelestarian budaya Jawa Timur.

Acara dimulai tepat pukul 19.00 WIB dengan nuansa sakral dan meriah. Warga tampak antusias menyambut pertunjukan ludruk yang dibawakan oleh kelompok seni Langgeng Budaya, yang dikenal konsisten menjaga eksistensi ludruk sebagai warisan budaya tak benda. Alunan musik gamelan mengiringi pembukaan acara, disusul dengan penampilan para seniman ludruk yang membawakan cerita rakyat dengan gaya khas penuh humor, kritik sosial, dan pesan moral.

Sedekah Bhoemi sendiri merupakan tradisi turun-temurun sebagai bentuk rasa syukur masyarakat atas berkah alam dan hasil bumi. Dalam balutan seni pertunjukan ludruk, makna sedekah bumi disampaikan dengan cara yang menghibur sekaligus mengedukasi. Kehadiran warga yang begitu ramai menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap pelestarian budaya lokal.


Persiapan dari Kru Pemain Musik Langgeng Budaya

Menjelang dimulainya pertunjukan, suasana di belakang panggung tak kalah menarik untuk disimak. Ini adalah momen persiapan kru musik gamelan yang tengah sibuk menata instrumen dan menyelaraskan nada. Denting kendang, gong, dan bonang mulai terdengar satu per satu, membentuk harmoni yang khas dan menggugah rasa. Para pengrawit, dengan penuh konsentrasi dan semangat, mempersiapkan diri untuk mengiringi jalannya pertunjukan ludruk malam itu.

Pemandangan ini memperlihatkan betapa pentingnya peran para kru di balik layar dalam menyukseskan sebuah pertunjukan seni tradisional. Mereka bukan hanya pelengkap, melainkan jiwa dari pertunjukan itu sendiri. Persiapan yang teliti dan penuh dedikasi menjadi bukti kecintaan mereka terhadap budaya gamelan yang telah diwariskan secara turun-temurun.

UMKM Yang Ikut Memeriahkan Acara Sedekah Bhoemi Langgeng Budaya

Tak hanya pertunjukan seni yang memikat, kehadiran pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) turut memeriahkan suasana Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya di Dukuh Karangan. Deretan stan UMKM berjajar rapi di sekitar area gedung, menawarkan beragam produk lokal mulai dari kuliner tradisional, kerajinan tangan, hingga pakaian khas daerah. Kehadiran mereka menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang ingin menikmati sajian khas sambil mendukung ekonomi kreatif warga setempat.

Aroma jajanan pasar seperti klepon, serabi, dan Pentol Bakso menggoda selera. Interaksi hangat antara penjual dan pembeli menciptakan suasana yang akrab dan penuh semangat gotong royong.

Partisipasi UMKM dalam acara ini bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai bukti nyata bahwa pelestarian budaya dapat berjalan beriringan dengan pemberdayaan ekonomi lokal. Banyak pelaku usaha mengaku senang bisa ambil bagian dalam acara ini, karena selain meningkatkan penjualan, mereka juga merasa bangga bisa turut serta dalam menjaga tradisi dan memperkenalkan produk mereka kepada masyarakat yang lebih luas.

Sambutan dari Pak Erwin dan Pak Ali Sebagai ketua dan wakil Ketua Pelaksana

Menjelang dimulainya pertunjukan utama, suasana semakin hangat dengan hadirnya sambutan dari Pak Erwin selaku Ketua Pelaksana acara Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya. Dalam pidatonya yang penuh semangat, beliau menyampaikan rasa syukur atas antusiasme warga yang begitu tinggi dalam mendukung kegiatan budaya lokal. Pak Erwin menekankan pentingnya menjaga tradisi sebagai bagian dari identitas masyarakat Jawa Timur, serta mengapresiasi kerja keras seluruh panitia dan warga RW3 Dukuh Karangan yang telah bergotong royong demi terselenggaranya acara ini.

Tak ketinggalan, wakil ketua pelaksana turut memberikan sambutan yang bernuansa hangat dan penuh harapan. Ia menyampaikan bahwa acara ini bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ia berharap kegiatan seperti ini bisa menjadi agenda rutin yang memperkuat rasa kebersamaan dan memperluas ruang ekspresi bagi seniman lokal.

Kidungan Pembuka yang dibawakan Oleh 2 Sinden Berbaju Merah

Menambah kekhidmatan dan nuansa tradisional yang kental, acara Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya dibuka dengan kidungan yang dibawakan oleh dua sinden berbaju merah. Dengan suara merdu dan penuh penghayatan, mereka melantunkan tembang pembuka yang sarat makna, mengiringi prosesi awal pertunjukan dengan aura sakral dan elegan. Kidungan tersebut menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur dan alam, sekaligus sebagai doa agar acara berjalan lancar dan membawa berkah bagi seluruh warga.

Penampilan kedua sinden yang anggun dan berwibawa langsung memikat perhatian penonton. Balutan busana merah yang mereka kenakan menambah kesan megah dan semangat, seolah menjadi representasi semangat pelestarian budaya yang menyala di tengah masyarakat. Alunan suara mereka berpadu harmonis dengan denting gamelan, menciptakan suasana yang menggetarkan hati dan membawa penonton larut dalam kekayaan tradisi Jawa Timur.

Tari Barongan

Setelah kidungan pembuka yang syahdu, suasana berubah menjadi lebih dinamis dan penuh energi dengan penampilan Tari Barongan. Tarian tradisional yang sarat makna ini langsung menyita perhatian penonton. Dentuman gamelan yang semakin cepat dan ritmis mengiringi gerakan para penari yang mengenakan kostum barongan dengan warna mencolok dan hiasan kepala menyerupai singa atau harimau, simbol kekuatan dan penjaga spiritual dalam budaya Jawa.

Gerakan para penari yang lincah dan penuh semangat menggambarkan keberanian dan semangat juang, sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam dan leluhur. Tari Barongan tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga bagian dari ritual budaya yang diyakini membawa keberkahan dan perlindungan bagi masyarakat.

Penonton tampak terpukau oleh atraksi yang ditampilkan, terutama saat para penari melakukan gerakan akrobatik dan interaksi dengan penonton yang menambah keseruan suasana. Anak-anak hingga orang tua terlihat antusias menyaksikan setiap gerakan yang dibawakan dengan penuh penghayatan.


Kidungan Guyonan/Peralihan adegan

Setelah penampilan Tari Barongan yang energik, suasana kembali mencair dengan hadirnya kidungan guyonan sebagai peralihan adegan. Seorang sinden dengan baju adat hitam kuning kini tampil dengan gaya yang lebih santai dan jenaka, menyuguhkan kidungan yang dipenuhi humor khas ludruk. Lirik-lirik yang mereka lantunkan mengandung sindiran sosial ringan, candaan sehari-hari, dan permainan kata yang membuat penonton terhibur.

Kidungan guyonan ini menjadi jembatan yang cerdas antara satu adegan dengan adegan berikutnya, sekaligus menjaga ritme pertunjukan agar tetap hidup dan menghibur. Gaya penyampaian para sinden yang penuh ekspresi dan interaktif dengan penonton menambah kehangatan suasana. Tak jarang, penonton ikut menyahut atau tertawa bersama, menciptakan atmosfer yang akrab dan meriah.


Tari Remo yang Dibawakan Oleh 7 Dayang Merah

Setelah kidungan guyonan yang menghibur, suasana kembali berubah menjadi khidmat saat tujuh dayang berbaju merah bersiap membawakan Tari Remo. Sebelum memulai tarian, mereka terlebih dahulu menggelar doa bersama di sisi panggung, dengan sikap penuh hormat dan kekhusyukan. Doa tersebut menjadi simbol permohonan restu kepada leluhur dan Sang Pencipta agar pertunjukan berjalan lancar dan membawa kebaikan bagi seluruh yang hadir.

Tari Remo, yang merupakan ikon pembuka dalam pertunjukan ludruk, dibawakan dengan penuh semangat dan ketelitian oleh para penari muda tersebut. Gerakan kaki yang dinamis, hentakan tubuh yang tegas, serta ekspresi wajah yang penuh karakter menggambarkan semangat kepahlawanan dan keberanian. Kostum merah yang mereka kenakan menambah kesan megah dan menyala, seolah menjadi representasi semangat budaya yang terus dijaga.


Tari Jaranan

Menjelang pertunjukan wayang yang menjadi puncak acara, suasana kembali bergemuruh dengan penampilan Tari Jaranan. Tarian ini dibawakan dengan penuh semangat oleh para penari yang mengenakan kostum khas jaranan lengkap dengan kuda tiruan berwarna-warni yang terbuat dari anyaman bambu. Iringan musik gamelan yang cepat dan menghentak, berpadu dengan suara kendang dan gong, membangkitkan energi penonton yang larut dalam semarak gerakan para penari.

Tari Jaranan, yang dikenal sebagai simbol keberanian dan kekuatan spiritual, menjadi daya tarik tersendiri dalam rangkaian Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya. Para penari menampilkan gerakan yang dinamis dan penuh semangat, menggambarkan semangat para prajurit berkuda dalam menghadapi tantangan. Beberapa penonton bahkan ikut bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama, menambah semarak suasana malam itu.

Penampilan Tari Jaranan juga membawa nuansa magis dan mistis yang khas, memperkuat nilai-nilai spiritual dalam tradisi Jawa. Tarian ini menjadi penanda bahwa pertunjukan wayang yang akan segera dimulai bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari ritual budaya yang sarat makna dan penghormatan terhadap leluhur.

Dengan Tari Jaranan sebagai pembuka menuju pertunjukan wayang, rangkaian acara malam itu terasa semakin lengkap dan berkesan. Setiap elemen seni yang ditampilkan saling menguatkan, menciptakan harmoni antara hiburan, spiritualitas, dan pelestarian budaya yang hidup di tengah masyarakat Dukuh Karangan.

Wayangan Bharatayudha Kubure Sengkuni

Setelah rangkaian pembuka yang meriah dan penuh makna, tibalah saat yang dinanti-nantikan: pertunjukan utama wayangan dengan lakon Bharatayudha: Kubure Sengkuni. Suasana RW3 Dukuh Karangan malam itu berubah menjadi lebih khidmat dan penuh antisipasi. Lampu panggung meredup, gamelan mulai mengalun pelan, dan dalang pun naik ke panggung, membawa serta kisah epik dari Mahabharata yang telah diwariskan turun-temurun.

Lakon Kubure Sengkuni mengisahkan babak akhir dari perang besar Bharatayudha, di mana Sengkuni yang Merupakan tokoh licik dan penuh tipu daya dari pihak Kurawa Yang akhirnya menghadapi kehancurannya. Dalam pertunjukan ini, dalang dengan piawai membawakan karakter Sengkuni yang manipulatif, licin dalam bicara, dan menjadi sumber konflik antara Pandawa dan Kurawa. Dengan suara yang khas dan penuh ekspresi, dalang menghidupkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Yudhishthira, Bima, Arjuna, dan Duryodana, serta menggambarkan ketegangan perang yang memuncak.

Adegan demi adegan disampaikan dengan iringan gamelan yang dinamis, kadang menghentak saat perang berkecamuk, kadang lirih saat dialog batin para ksatria berlangsung. Penonton dibuat larut dalam alur cerita, menyaksikan bagaimana tipu muslihat Sengkuni akhirnya terbongkar, dan ia harus menerima akibat dari perbuatannya. Dalam adegan klimaks, Bima tampil sebagai ksatria yang menuntaskan dendam dan keadilan, mengalahkan Sengkuni dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa.

Pertunjukan ini bukan hanya menyuguhkan hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral yang dalam: bahwa kelicikan dan pengkhianatan akan berujung pada kehancuran, dan kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Lakon Kubure Sengkuni menjadi refleksi sosial yang relevan, dibawakan dengan gaya khas ludruk yang menggabungkan humor, kritik, dan nilai-nilai luhur.

Penonton tampak terpukau sepanjang pertunjukan, sesekali tertawa, terdiam, bahkan bersorak saat adegan-adegan penting berlangsung. Wayangan malam itu menjadi puncak dari acara Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya, menutup rangkaian kegiatan dengan kesan mendalam dan kebanggaan akan kekayaan budaya lokal yang terus hidup di tengah masyarakat.


Ki Yohan Susilo Sang Dalang

Pertunjukan wayang Bharatayudha: Kubure Sengkuni malam itu menjadi semakin istimewa karena dibawakan oleh Ki Yohan Susilo, seorang dalang yang tak hanya piawai dalam memainkan wayang, tetapi juga memiliki latar belakang akademik yang kuat. Dalam sesi bincang santai sebelum pertunjukan dimulai, Ki Yohan Susilo mengungkapkan bahwa kecintaannya terhadap dunia pedalangan telah tumbuh sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia mulai berlatih menjadi dalang secara intensif di usia muda, dibimbing langsung oleh keluarganya yang memang memiliki tradisi seni pedalangan secara turun-temurun.

Kisah perjalanan Ki Yohan Susilo menjadi dalang bukan hanya soal bakat, tetapi juga tentang warisan budaya yang dijaga dengan penuh dedikasi. Ia menyebut bahwa setiap gerakan tangan, intonasi suara, hingga pemahaman terhadap lakon wayang adalah hasil dari proses panjang yang ia jalani bersama keluarga, dari generasi ke generasi. Nilai-nilai luhur dan filosofi Jawa yang terkandung dalam setiap pertunjukan wayang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.

Menariknya, Ki Yohan Susilo juga merupakan seorang dosen Sastra Bahasa Jawa di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Peran gandanya sebagai akademisi dan seniman menjadikan pertunjukan wayang yang ia bawakan begitu kaya akan makna dan kedalaman. Ia tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga menyisipkan nilai-nilai sastra, etika, dan pendidikan budaya kepada penonton. Dalam setiap lakon, ia mampu mengemas pesan moral dengan gaya yang komunikatif dan menghibur, menjadikan wayang sebagai media pembelajaran yang hidup.

Sebagai penutup dari rangkaian acara Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya, pertunjukan wayang dengan lakon Bharatayudha: Kubure Sengkuni yang dibawakan oleh Ki Yohan Susilo menjadi puncak malam yang penuh makna. Dari awal hingga akhir, acara ini berhasil menyatukan berbagai elemen budaya Jawa Timur, mulai dari kidungan, tari-tarian tradisional, pertunjukan ludruk, hingga wayang kulit dalam satu panggung yang hidup dan menyentuh hati.

Kehadiran masyarakat yang begitu antusias, partisipasi aktif para pelaku UMKM, serta dukungan penuh dari panitia dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan, tetapi juga kekuatan pemersatu. Ludruk Langgeng Budaya bukan sekadar nama kelompok seni, tetapi cerminan semangat pelestarian yang terus menyala di tengah arus modernisasi.

Acara ini menjadi bukti bahwa seni tradisional masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Melalui pertunjukan yang menghibur sekaligus mendidik, nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kejujuran, keberanian, dan penghormatan terhadap leluhur disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan membumi. Ki Yohan Susilo, dengan latar belakang akademik dan darah seni yang mengalir dalam dirinya, menjadi simbol bahwa pelestarian budaya bisa berjalan beriringan dengan pendidikan dan intelektualitas.

Sedekah Bhoemi Ludruk Langgeng Budaya di RW3 Dukuh Karangan bukan hanya sebuah acara tahunan, tetapi sebuah pernyataan: bahwa budaya adalah milik bersama, dan tugas kita semua untuk menjaganya tetap hidup, berkembang, dan relevan. Malam itu, Surabaya tidak hanya menyaksikan pertunjukan seni dan Ia merayakan jati dirinya.(J.S Vico Wildan Edisal)


No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger